Meskipun tersembunyi dari pandangan publik, tanpa menara, dan di bawah penjagaan polisi, bangunan itu, kata pegiat hak asasi manusia, setuju melakukan lebih dari sekadar memperbaiki kekosongan agama yang telah ada sejak Yunani mengusir Ottoman dari Athena pada 1833.
“Ini bukan hanya tentang hak asasi manusia dan kebebasan beragama ribuan Muslim,” kata Dimitris Christopoulos yang sebelumnya mengepalai Federasi Internasional Hak Asasi Manusia berbasis di Paris.
“Ini tentang memikirkan kembali dan menemukan kembali identitas Yunani dalam semua warna dan kompleksitasnya, mencakup 400 tahun pemerintahan Ottoman,” tambahnya.
Sebagian warga Yunani telah lama memiliki imej negatif terhadap Islam, di mana mereka menyamakannya dengan sikap represif saat pendudukan Turki Ottoman.
“Selalu ada masjid di Athena, tetapi setelah kemerdekaan kami memilih untuk menghapusnya dari ingatan kami,” imbuh Christopoulos, profesor ilmu politik dan sejarah di Universitas Panteion.
“Kami memiliki persepsi identitas tradisional anti-Islam yang tidak ada hubungannya dengan Islamofobia Eropa klasik, tetapi sentimen anti-Turki, dan itu telah dimasukkan ke dalam kisah masjid.”
Diyakini ada sekira 250 ribu warga Muslim tinggal di Athena. Mayoritas terdiri atas orang Pakistan, Suriah, Afghanistan, dan Bangladesh.
Imam Zaki mengatakan masjid itu cukup besar untuk menampung 350 jemaah pria dan 70 wanita di ruang berdekatan.
“Di musim panas, lebih banyak orang bisa berkumpul di luar,” katanya dengan antusias sambil menunjuk halaman dikelilingi taman yang baru dibangun dan alun-alun dengan air mancur.
Sebelumnya Zaki menjadi sukarelawan di salah satu dari banyak masjid darurat yang menjamur. Sebagian besar di flat bawah tanah karena tidak adanya tempat ibadah Muslim resmi.